Jambi, 18 Januari 2025 – Aliansi Wartawan Siber Indonesia (AWaSI) Jambi dengan tegas mengecam putusan hakim Pengadilan Negeri (PN) Tebo yang dianggap nyeleneh, tidak adil, dan mencederai rasa keadilan masyarakat. Berita ini, yang sebelumnya dilaporkan oleh Harianto dari Info Kabar Jambi (IKJ), kini disuarakan ulang oleh AWaSI Jambi sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem hukum bobrok yang semakin merajalela di Provinsi Jambi.
Kasus yang melibatkan Epi Suhendra dan Aandri menjadi bukti nyata bagaimana hukum di Jambi dijadikan alat permainan oleh aparat penegak hukum (APH). Vonis terhadap kedua terdakwa mencerminkan betapa para hakim seolah bertindak sebagai “Tuhan kecil” tanpa takut pada konsekuensi, baik di dunia maupun akhirat.
Ketua AWaSI Jambi, Erfan Indriyawan, melontarkan kritik keras terhadap putusan hakim PN Tebo.
“Bagaimana mungkin dua terdakwa yang didakwa atas tuduhan yang sama mendapatkan vonis yang begitu mencolok berbeda? Aandri hanya dihukum 8 bulan, sementara Epi Suhendra dihajar 7 tahun. Ini bukan hanya nyeleneh, ini adalah penghinaan terhadap logika hukum dan keadilan itu sendiri. Hakim seperti ini tidak layak mengenakan jubah kehormatan!” tegas Erfan dengan nada geram.
AWaSI Jambi menyebut putusan ini sebagai cerminan sistem hukum yang sudah kehilangan integritas.
“Hakim-hakim ini lupa bahwa mereka diamanahkan untuk menegakkan keadilan, bukan memperdagangkannya. Putusan seperti ini hanya menunjukkan satu hal: keadilan di Jambi sudah mati!” tambahnya dengan tegas.
Menurut informasi dari IKJ, kasus ini penuh dengan kejanggalan sejak awal. Bukti yang diajukan dalam kasus ini lemah dan bahkan hasil visum menunjukkan tidak ada tanda-tanda kekerasan pada korban. Namun, proses hukum terus dipaksakan hingga menghasilkan vonis yang jelas tidak masuk akal.
AWaSI Jambi menyebut kasus ini sebagai salah satu dari sekian banyak potret buram sistem hukum di Provinsi Jambi. Hakim, jaksa, dan penyidik sering bertindak semaunya, tanpa takut pada pertanggungjawaban moral maupun hukum.
“Hukum di Jambi telah berubah menjadi panggung sandiwara di mana para aparat berperan sebagai sutradara, dengan korban sebagai aktor yang mereka kendalikan. Bagaimana masyarakat bisa percaya pada sistem yang memaksa pengakuan melalui kekerasan dan menyusun vonis tanpa dasar logis?” kritik Erfan.
AWaSI Jambi menegaskan akan membawa hakim PN Tebo yang bertanggung jawab atas putusan ini ke Komisi Yudisial (KY). Laporan resmi sedang disusun untuk memastikan hakim tersebut mempertanggungjawabkan tindakan tidak adilnya.
“Kami akan menyeret mereka yang bermain-main dengan hukum ini ke hadapan KY. Jika KY tidak bertindak, kami pastikan masalah ini tidak akan berhenti di sini. Kami akan menggalang opini publik, membawa masalah ini ke tingkat nasional, dan memastikan para hakim ini tidak lagi berlindung di balik jubah palsu mereka!” ancam Erfan.
AWaSI Jambi menyerukan kepada seluruh aparat penegak hukum di Provinsi Jambi untuk berhenti menjadikan hukum sebagai alat kekuasaan.
“Hari ini kami berbicara tentang Epi Suhendra, tapi ini bukan kasus pertama, dan pasti bukan yang terakhir jika tidak ada perbaikan. Aparat penegak hukum di Jambi harus sadar bahwa jabatan mereka adalah amanah, bukan alat untuk memperkaya diri atau menghancurkan kehidupan orang lain. Tuhan tidak tidur, dan masyarakat Jambi tidak akan diam!” tutup Erfan dengan lantang.
AWaSI Jambi juga menyerukan kepada masyarakat untuk tidak tinggal diam.
“Hukum di Jambi sedang sekarat. Ini saatnya masyarakat bersatu untuk melawan. Jangan biarkan hukum terus dipermainkan oleh segelintir orang yang merasa berkuasa. Hari ini Epi, besok bisa saja Anda atau keluarga Anda yang menjadi korban!” ujar Erfan penuh emosi.
AWaSI Jambi akan terus mengawal kasus ini, memastikan pelaku ketidakadilan diproses, dan berjuang untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum di Provinsi Jambi.
Media Contact:
AWaSI Jambi
Telp: 0831.1202.2999/0816.3278.9500
“Hukum di Tebo bukan lagi panglima, tapi boneka yang dimainkan oleh tangan kotor para penguasa!”
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.