Oleh: Thamrin B. Bachri. ***

 

Presiden AS Donald Trump beberapa waktu yang lalu menerapkan secara luas tarif baru yang akan menghantam berbagai produk dari berbagai negara. Di antara tarif yg diterapkan antara lain 10% baseline untuk partner dagang, 25% untuk mobil2 impor, dan tarif resiprokal (reciprocal tariff adalah kebijakan perdagangan dimana suatu negara menetapkan bea bea masuk terhadap produk suatu negara lain yg setara dengan dengan tarif yg diterapkan oleh negara tersebut terhadap profuk negara yang pertama), untuk paling sedikit 50 negara atau mencapai hampir 50%.

Kebijakan seperti ini biasanya dihadapi dengan kebijakan subsidi untuk barang barang ekspor atau bea masuk anti dumping, negosiasi dan lainnya.

 

Bagaimana Perkiraan Dampak Kebijakan Tarif ini Terhadap Sektor Pariwisata?

 

Baca juga:  AWaSI Jambi Dukung Buka-Tutup Jalan Sebapo, Tol Betejam Siap Pasang Balok Girder Awal Februari

Kebijakan Tarif Baru Trump (Trump New Tariff) tentu secara tidak langsung berpengaruh terhadap sektor pariwisata karena dengan semakin tingginya harga-harga dan naiknya ongkos ongkos dapat menyebabkan turunnya “propensity to travel” dan menurunnya “consumers confidence” serta kegagalan rencana perjalanan (disrupting travel) termasuk perubahan prilaku pelaku perjalanan serta sentimen ekonomi, walaupun kebijakan tarif tersebut tidak langsung dikenakan pada tarif pesawat, kamar hotel maupun perjalanan wisata (tours).

Efek berantai (the knock-on effects) dari kebijakan tarif Trump tersebut sangat signifikan mendorong harga-harga menjadi tinggi. Hal ini berpengaruh pada melemahnya kecenderungan melakukan perjalanan(propensity to travel) dan menyebabkan menurunannya tingkat penghunian kamar (TPK), ad infinitum. Tingginya harga-harga tersebut menyebabkan destinasi kita menjadi mahal apalagi wisatawan domestik kita yang sangat peka degan harga atau kecenderungan wisatawan untuk mempertimbangkan faktor harga dalam memilih destinasi (price sensitive) sangatlah tinggi.

Baca juga:  "AWaSI Jambi Soroti Inovasi Terminal Alam Barajo: Perjalanan Aman dan Nyaman Kini Jadi Kenyataan"

 

Perkiraan Dampak Terhadap Hotel.

 

Tentu di samping menurunnya tingkat penghunian kamar (TPK), hotelier akan menghadapi pembengkakan biaya di dua area, yang pertama adalah biaya konstruksi baru dan biaya untuk fixture dan equipment. Tarif yang dikenakan pada bahan bangunan seperti baja akan mendorong tingginya biaya konstruksi, Skift Research mencatat dalam US Hotel Supply Outlook: Akan Terjadi Perlambatan Konstruksi Baru Pada Tahun 2025.

 

Strategi Dalam Hadapi Krisis.

 

Dalam situasi krisis seperti ini pihak hotel mapun industri pariwisata lainnya hendaklah memahami bahwa biasanya akan terjadi pergeseran dalam pergerakan wisatawan seperti pada masa Covid yang lalu yaitu pergeseran perjalanan dari long-haul ke short-haul atau dari domestik ke lokal sebagai secondary marketnya. Karena itu, hendaklah tetap memberikan harga yg sesuai dengan kualitas, ciptakan kreatifitas dan inovasi produk, menambah nilai produk misalnya menyiapkan trolley untuk anak balita di lobi hotel, sedapat mungkin menggunakan produk lokal, dan terus menjaga hubungan yang baik dengan para tamu serta sosialisasikan kenaikan harga jauh hari sebelumnya. Selanjutnya, seluruh SDM harus beretika promosi dan berprilaku sustainable untuk meningkatkan daya saingnya.

Baca juga:  Sinergi ARMI Jambi dan HvRv HARA: Kunci Sukses Bisnis Rental Mobil

 

Akhirnya, indutri pariwisata harus senantiasa optimis seperti yang dikatakan Chris Hemmeyer, managing director of Thayer Ventures a major US-based Travel and Hospitality Fund: “Short term is uncertain but Long term is not”

 

*** Penulis:

⁃ Alumnus Dept Hospitality & Tourism University of Wisconsin, USA.

⁃ Tenaga Akhli Gubernur Jambi bidang pariwisata.